Peraturan Perundang-undangan





Peraturan perundang-undangan Indonesia
Jenis dan Hierarki


Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
  1. UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
  4. Peraturan Pemerintah (PP)
  5. Peraturan Presiden (Perpres)
  6. Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Sedangkan peraturan perundang-undangan selain yang tercantum di atas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Undang Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Naskah resmi UUD 1945 adalah:
  • Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal
  • Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).
Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
Ketetapan MPR
Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).
Dengan demikian MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Undang-Undang (Indonesia)
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Materi muatan Undang-Undang adalah:
  • Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
  • Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang Dasar 1945 untuk diatur dengan Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR
  • Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
  • DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
  • Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan Presiden
Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Daerah
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Bahasa dalam Peraturan Peraturan Perundang-undangan
Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Penyerapan kata atau frasa bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frasa tersebut memiliki konotasi yang cocok, lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia, mempunyai corak internasional, lebih mempermudah tercapainya kesepakatan, atau lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Setiap Negara, baik Negara itu besar maupun kecil pasti mempunyai system administrasi negaranya sendiri yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing – masing Negara tersebut.
Peraturan  perundang – undangan Negara Indonesia sebagai penjabaran dari nilai – nilai Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 merupakan piranti dalam rangka pencapaian cita – cita dan tujuan nasional. Oleh karena itu landasan Peraturan Perundang – undangan Negara Indonesia adalah Pancasila sebagai landasan idil, Undang – Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional.



PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN NASIONAL

2.1 Arti Perundang – Undangan Negara Republik Indonesia

Undang – undang adalah ketentuan – ketentuan yang disusun oleh pemerintah yang dilaksanakan oleh DPR dan unsur – unsur  terkait, aturan – aturan yang dibuat penguasa untuk dipatuhi masyarakat dan hukum.

Undang – undang 1945 merupakan konstitusi dasar yang menjadi pedoman pokok dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu Negara mengatasi segala paham, golongan, kelompok dan perseorangan serta menghendaki persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek dan dimensi kehidupan nasional.

Undang – undang merupakan bentuk peraturan yang merupakan peraturan pelaksana dari UUD 1945, bentuk peraturan lain yang juga merupakan sumber hokum yang sederajat dengan undang – undang adalah peraturan pemerintah pengganti undang – undang (perpu). Sebenarnya dari nama dan badan yang menetapkannya, tingkat perpu ini berada di bawah UU. Tetapi bentuk peraturan ini dimaksud sebagai pengganti UU, maka derajatnya sama dengan UU.

2.2 Prinsip Peraturan Perundang – undangan
    
     Peraturan perundang – undangan mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut.
a)    Dasar hokum peraturan perundang – undangan selalu peraturan perundang – undangan.
b)    Hanya peraturan perundang – undangan tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis.
c)    Peraturan perundang – undangan yang masih berlaku dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh peraturan perundang – undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi.
d)   Peraturan perundang – undangan baru mengesampingkan peraturan perundang – undangan yang lama (lex posterior legi priori).
e)    Peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi mengesampingkan perundang – undangan yang lebih rendah (lex superior derogate legi inferior).
f)     Peraturan perundang – undangan yang bersifat khusus mengesampingkan perundang – undangan yang bersifat umum (lex specialis derogate legi generali).
g)    Setiap jenis peraturan perundang – undangan materinya berbeda.



2.3 Tata Urutan Peraturan Perundang – undangan Negara Republik Indonesia

Jika ditinjau dari tingkatannya, ada dua tingkat perundang – undangan yaitu :
1.      Peraturan perundangan tingkat pusat
MPRS tahun 1966 menetapkan tata urutan peraturan perundang – undangan di Indonesia yang tertuang dalam ketetapan MPRS No XX/MPRS/1966. Tata ururtan yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
a.      UUD 1945
UUD 1945 adalah hokum dasar Negara kita. Karena UUD 1945 merupakan aturan tertinggi, maka tidak boleh ada aturan di bawahnya yang bertentangan dengan UUD 1945. Sekarang UUD 1945 telah mengalami perubahan pasal – pasal. UUD 1945 itu disesuaikan dnegan dinamika dan kebutuhan Negara RI. Mengubah isi pasal atau ayat adalah hal yang wajar, karena kehidupan berbangsa dan bernegara terus berkembang. Yang tidak boleh diubah dalam Pembukaan UUD 1945, sebab Pembukaan UUD 1945 merupakan kaidah Negara yang fundamental. Mengubah Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan Negara kesatuan RI.
b.      Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah keputusan yang diambil dalam siding MPR. Ketetapan MPR memuat ketentuan – ketentuan secara garis besar, sehingga mudah dilaksanakan. Ketetapan MPR adalah salah satu keputusan MPR, sedangkan putusan MPR yang lain disebut keputusan MPR. Ketetapan dan keputusan merupakan dua hal yang berbeda.
Menurut UUD 1945 segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. Putusan MPR berbentuk :
1.      Ketetapan MPR, yaitu pututsan MPR yang mempunyai kekuatan mengikat ke dalam dan keluar MPR.
2.      Keputusan MPR, yaitu pututsan MPR yang mempunyai kekuatan hokum mengikat ke dalam MPR.
c.       Undang – undang
Undang – undang adalah peraturan perundangan yang bertujuan untuk melaksanakan UUD atau ketetapan MPR. Undang – undang yang dibentuk berdasarkan ketentuan dalam UUD disebut Undang – undang organic.
d.      Peraturan pemerintah pengganti undang – undang (perpu)
Peraturan pemerintah ditetapkan oleh presiden dengan tujuan melaksankan Undang – undang perpu adalah undang – undang yang dikeluarkan oleh pemerintah atau presiden dalam keadaan memaksa tanpa harus melalui persetujuan DPR. Perpu diatur dalam UUD 1945 pasal 22 yaitu :
1.      Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU.
2.      Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya.
3.      Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan pemerintah itu harus dicabut.
e.       Keputusan Presiden
Keputusan presiden adalah keputusan yang ditetapkan oleh presiden. Keputusan presiden berisi keputusan yang bersifat khusus dengan tujuan melaksanakan ketentuan UUD atau TAP MPR dan melaksanakan Peraturan Pemerintah. Selain Keputusan Presiden (Kepres) terdapat pula Instruksi Presiden (Inpres). Inpres adalah instruksi dari presiden dalam rangka koordinasi tugas pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap departemen.
f.       Keputusan menteri
Keputusan menteri ditetapkan oleh menteri yang bersangkutan untuk kepentingan lingkungan departemennya.
g.      Instruksi menteri
Instruksi menteri ditetapkan oleh menteri yang bersangkutan dengan tujuan melaksanakan Keputusan Menteri.

2.  Peraturan Daerah
Peraturan Daerah antara lain sebagai berikut :
a.       Peraturan Daerah Provinsi
b.      Peraturan Daerah Kabupaten
c.       Keputusan Gubernur
d.      Keputusan Bupati
2.4 Pentingnya Peraturan Perundang – undangan Negara Republik Indonesia bagi Warga Negara
          Pentingnya peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia bagi warga Negara, yaitu sebagai berikut :
a.       Memberikan rasa keadilan bagi warga negara.
Peraturan perundang – undangan dibuat untuk menciptakan keadilan karena denga peraturan terdapat bukti – bukti tertulis untuk mengatur kehidupan manusia.
b.      Menjamin kepastian hokum warga negara.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan ada kepastian hokum yang mengikat dan tegas bagi warga negara untuk melakukan perbuatan karena mengetahui nama yang benar dan mana yang salah serta ada pedoman yang jelas sehingga tidak ragu – ragu dalam melaksanakan perbuatan.
c.       Melindungi dan mengayomi hak – hak warga Negara
Peraturan perundang – undangan berfungsi untuk melindungi dan mengayomi hak – hak warga Negara karena hak – hak tersebut sebenarnya sudah ada sebelum adanya peraturan tetap. Namun, tanpa adanya peraturan hak – hak itu akan mudah dilanggar dan bahkan dirampas oleh orang lain. Oleh karena itu, diperlukannya peraturan perundang – undangan guna melindungi serta menjamin terpenuhinya hak – hak warga negara.





PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

            Yang berwenang menetapkan peraturan perundang – undangan negara di Indonesia adalah lembaga legislatif(DPR). Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
           
            Setelah anggota DPR terpilih, mereka menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai wakil rakyat. Tugasnya dibidang legislatif adalah menetapkan UU. Dibawah ini merupakan proses pembuatan undang – undang, dimulai dari persiapan rancangan undang – undang hingga penerapannya.

1.      Proses penyiapan rancangan undang – undang (RUU)
Jika RUU berasal dari presiden, maka RUU dipersiapkan oleh presiden dan diproses serta dibahas oleh pembantu – pembantu dan staf  ahlinya. Kemudian RUU oleh panitia Ad Hoc DPR dirumuskan menjadi RUU. Dan selanjutnya dimasukkan dalam agenda pembahasan rapat DPR.
2.      Proses pengajuan rancangan undang – undang (RUU) kepada DPR
Presiden mengajukan RUU kepada DPR untuk dibahas dalam siding DPR. DPR mempunyai hak amandemen terhadap RUU yang diajukan oleh presiden yaitu hak DPR untuk merubah baik menambah maupun mengurangi RUU sehingga menjadi UU. DPR mempunyai hak inisiatif yaitu hak DPR mengajukan RUU untuk diproses dan dibahas pada masa persidangan DPR.
3.      Proses pembahasan rancangan undang – undang (RUU) dalam masa siding DPR
RUU yang diajukan oleh presiden maupun oleh DPR diproses melalui musyawarah dalam masa persidangan DPR secara demokratis. Adapun proses pemabahasan RUU dalam persidangan di DPR yaitu :
a.       RUU yang diusulkan atau diajukan diterima oleh DPR.
b.      DPR menjadwalkan kapan pelaksanaan rapat pembahasan RUU dalam masa persidangan DPR.
c.       Setelah ditetapkan jadwal waktu persidangannya, maka ada beberapa tahapan yaitu :
1)      Tahap pertama, DPR menyelenggarakan siding pleno membahas RUU.
2)      Tahap kedua, pembahasan RUU oleh komisi dan fraksi di DPR.
3)      Tahap ketiga, hearing yaitu menerima aspirasi, pendapat dan saran dari lapisan masyarakat, para pakar dan ahlinya demi kesempurnaan dan perbaikan.
4)      Tahap keempat, siding pleno pengambilan keputusan untuk menetapkan RUU menjadi undang – undang.
4.      Proses penetapan rancangan undang – undang (RUU) menjadi undang – undang
5.      Pengasahan dan pemberlakuan undang – undang
Setelah DPR menetapkan RUU menjadi UU, kemudian UU disahkan oleh presiden. Selanjutnya UU yang telah disahkan oleh menteri sekretaris Negara diundangkan dalam lembaran Negara dan diberlakukan UU secara nasional.


MEMATUHI PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

            Sikap patuh adalah melakukan tindakan di berbagai bidang kehidupan dan bernegara yang sesuai dengan ketentuan norma, kaidah dan peraturan yang berlaku. Sikap patuh merupakan sikap terpuji, sikap yang baik, sikap yang dapat membina kerukunan dan ketertiban serta dapat meningkatkan kedisiplinan. Sedangkan ketaatan adalah sikap tindakan patuh atau setia pada nilai, norma dan hukum yang bersumber dari Tuhan YME, negara, maupun masyarakat yang berlaku dalam kehidupan bersama.
           
            Kepatuhan dan ketaatan warga negara terhadap peraturan perundang – undangan nasional dapat ditunjukkan dengan sikap berikut :
1.      Membiasakan tertib lalu lintas dalam rangka melaksanakan UU laulintas.
2.      Membayar pajak bimi dan bangunan (PBB) sesuai dengan jumlah dan waktu yang ditentukan dalam rangka melaksanakan UU perpajakan.
3.      Menggunakan hak pilihnya pada pemilu dalam rangka melaksanakan UU pemilu.
4.      Melaksanakan wajib belajar dalam rangka melaksanakan UU Sistem Pendidikan Nasional.
5.      Menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, dalam rangka melaksanakan UU pemilihan presiden dan wapres.
6.      Tidak membuat kerusuhan dan terror dalam rangka melaksanakan UU anti teroris.

Indonesia sebagai negara hukum berarti segala tindakan atau perbuatan warga negaranya harus tunduk pada hukum dan kekuasaan apapun tunduk pada hukum. Kekuasaan itu tidak tanpa batas artinya tunduk pada hukum. Hukum berlaku bagi semua orang tanpa ada perbedaan yang didasarkan atas ras, agama, kedudukan social dan kekayaan.

Kenyataannya penegakkan hukum banyak mengalamai hambatan, gangguan dan pelanggaran oleh anggota masyarakat maupun aparatur negara. Pelanggaran hukum itu dilakukan secara perorangan atau kelompok, seperti pencurian, penodongan, perampokan, dan lain – lain.

Setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai perlindungan dari pemerintah atas hak – haknya. Dalam melakukan hubungan dengan pemerintah kita bersama – sama berusaha mewujudkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan cara selalu mentaati peraturan yang ada. Selain itu juga berpartisipasi aktif dalam pembangunan terutama menyangkut pembinaan generasi muda.

Bangsa Indonesia ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, menyeluruh di pelosok tanah air. Negara Indonesia sebagai negara hukum ikut aktif dalam usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat dan mengatur fungsi negara untuk menyelenggarakan hak dan kewajiban kepentingan umum. Sitem pemerintah Indonesia berdasar hukum dan tidak bersifat absolute, artinya kekuasaan pemerintah dibatasi oleh UU yang merupakan jaminan  bagi seluruh warga negara. 

korupsi kolusi nepotisme.
Korupsi berasal dari bahasa latin corere yang artinyaKorupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok).

Korupsi menurut Transparency International
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.

kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur
dengan membuat kesepakatan secara
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan
perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang
atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala
urusannya menjadi lancar. 

Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau
teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya
digunakan dalam konteks derogatori. 

Beberapa lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk selama kurun waktu tahun 1967-2008 sebagai berikut:
1.    Nama Tim: Tim Pemberantas Korupsi
Jenis peraturan:
Keppres 228/1967 tertanggal 2 Desember 1967.
Pelaksana:
Mayjen Sutopo Juwono, Laksda Sudomo, Komodor Saleh Basarah, Brigjen Pol Soebekti, Jaksa Agung Muda Priyatna Abdurrasjid SH dan Kusnun SH Satgas:unsur kejaksaan, ke-4 angkatan, ahli ekonomi, keuangan dan perbankan, pers dan kesatuan-kesatuan aksi.
Tugas/Sasaran:
Membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan bersifat refresif maupun preventif.
Hasil: na

2. Nama Tim: Komisi empat
Jenis peraturan:
Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970.
Pelaksana: :
Komisi ini terdiri 4 orang: Wilopo SH (ketua merangkap anggota), IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof Ir Johannes, Mayjen Sutopo Juwono (Ketua Bakin) sebagai sekretaris.
Tugas/Sasaran:
Menghubungi penjabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil atau militer. Memeriksa dokumen-dokumen administrasi pemerintah, swasta, dan lain-lain. Minta bantuan pada aparatur negara pusat dan daerah.
Hasil:
Setelah bekerja 5 bulan, tugas Komisi IV selesai dengan menghasilkan pertimbangan:
a.    Laporan dan saran-saran agar kegiatan Jaksa Agung dan TPK diperkuat dengan tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman dan penuntut umum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu.
b.    Masalah Pertamina, tidak pernah bayar pajak sejak tahun 1958-1963. Dan juga mengenai Pertamina mempunyai 3 anak perusahaan, dimana hal ini bertentangan dengan UU No 19/1960.
c.    Masalah penebangan hutan yang harus disertai penanaman kembali.
d.    Tahun 1970, Bulog defisit Rp 12,871 milyar.
e.    Penyederhanaan struktur dan administrasi negara. Tiap pejabat atasan harus memperhatikan agar semua peraturan dipegang teguh agar tidak terjadi penyelewengan.

3. Nama Tim: Komite Anti Korupsi (KAK)
Jenis Peraturan :
Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970
Pelaksana :
Angkatan 66 yaitu: Akbar Tandjung, Mishael Setiawan, Thoby Mutis, Jacob Kendang, Imam Waluyo, Tutu TW Soerowijono, Agus Jun Batuta, M Surachman, Alwi Nurdin, Lucas Luntungan, Asmara Nababan, Sjahrir, Amir Karamoy, E Pesik, Vitue, Mengadang Napitupulu, dan Chaidir Makarim.
Tugas/Sasaran:
Kegiatan diskusi dengan pimpinan-pimpinan partai politik dan bertemu dengan presiden Soeharto menanyakan masalah korupsi. Catatan:KAK dibubarkan tanggal 15 Agustus 1970 setelah bekerja 2 bulan.

4. Nama Tim: OPSTIB
Jenis Peraturan:
Inpres 9/1977
Pelaksana:
Koordinator pelaksana: MenPAN
Tingkat Pusat:
Pelaksana Operasional:
Pangkopkamtib
Ketua I: Kapolri
Ketua II: Jaksa Agung dengan para Irjen
Tingkat Daerah:
Pelaksana Operasional: Laksusda
Ketua I: Kadapol
KetuaII: Kejati dan para Irwilda.
Tugas/Sasaran
Sasaran Opstib pada mulanya mengadakan pembersihan pungutan liar di jalan-jalan. Kemudian diperluas meliputi penertiban uang siluman di pelabuhan-pelabuhan dan pungutan resmi namun tidak sah menurut hukum. Sejak Agustus 1977, sasaran penertiban beralih dari jalan raya ke aparat pemerintah daerah dan departemen.
Hasil:
Hasil yang diperoleh Opstib dari juli 1977 hingga Maret 1981, ditangani 1.127 perkara yang melibatkan 8.026 orang dengan beberapa kasus besar yaitu: Kasus Korupsi di Markas Besar Polri dengan uang yang diselewengkan sebesar Rp 4,8 milyar. Kasus Pluit, Endang Wijaya yang berhasil mengambil uang negara sebesar Rp 22 milyar. Kasus Arthaloka yang diketahui tanggal 11 Agustus 1978 mengenai ketidakberesan tanah dan penyalahgunaan uang dropping pembangunan gedung Arthaloka Rp 957.193.129 oleh PT MRE, sebuah perusahaan real estate.

5. Nama Tim: Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dihidupkan lagi. Namun Keppres mengenai TPK ini tidak pernah terwujud.
Pelaksana:
MenPAN Sumarlin, Pangkopkamtib Sudomo, Ketua MA Mudjono SH, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Jenderal (Pol) Awaluddin Djamin MPA.
Tugas/Sasaran:
na
Hasil:
na

6. Nama Tim: Tim Gabungan Antikorupsi
Jenis Peraturan:
Mengacu pada UU No 31/1999 tentang Komisi Antikorupsi PP No 19 Th 2000.
Pelaksana:
Ketua: Andi Andojo Soetjipto, Didukung 25 orang anggota termasuk anggota kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Jaksa yang masih aktif serta aktivis kemasyarakatan.
Tugas/Sasaran:
Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.
Hasil:
na

7.    Nama Tim: Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
Jenis Peraturan:
•    UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN
•    UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
•    PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Tugas/Sasaran:
Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.
Hasil:
2004
•    Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Ir. H. Abdullah Puteh.
•    Dugaan korupsi dalam pengadaan Buku dan Bacaan SD, SLTP, yang dibiayai oleh Bank Dunia (2004)
•    Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004)
•    Dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 milyar lebih. (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka tersangka Drs. Muhammad Harun Let Let dkk.
•    Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI (2004)
•    Dugaan telah terjadinya TPK atas penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN. (2004)
2005
•    Kasus penyuapan anggota KPU, Mulyana W. Kusumah kepada tim audit BPK (2005)
•    Kasus korupsi di KPU, dengan tersangka Nazaruddin Sjamsuddin, Safder Yusacc dan Hamdani Amin (2005)
•    Kasus penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, dengan tersangka Teuku Syaifuddin Popon, Syamsu Rizal Ramadhan, dan M. Soleh. (2005)
•    Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo, dengan tersangka Harini Wijoso, Sinuhadji, Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Suhartoyo dan Triyadi
•    Dugaan korupsi perugian negara sebesar 32 miliar rupiah dengan tersangka Theo Toemion (2005)
•    Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005)
2006
•    27 Desember - Menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R. sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan merugikan negara sebanyak Rp 15,9 miliar. Tribun Kaltim
•    22 Desember - Menahan Bupati Kendal Hendy Boedoro setelah menjalani pemeriksaan Hari Jumat (22/12). Hendy ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Kendal 2003 hingga 2005 senilai Rp 47 miliar. Selain Hendy, turut pula ditahan mantan Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah Warsa Susilo. Tempo Interaktif
•    21 Desember - Menetapkan mantan Gubernur Kalimantan Selatan H.M. Sjachriel Darham sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penggunaan uang taktis. Sjachriel Darham sudah lima kali diperiksa penyidik dan belum ditahan. Tempo Interaktif
•    30 November - Jaksa KPK Tuntut Mulyana W. Kusumah 18 Bulan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004. Tempo Interaktif
•    30 November - Menahan bekas Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, Eda Makmur. Eda diduga terlibat kasus dugaan korupsi pungutan liar atau memungut tarif pengurusan dokumen keimigrasian di luar ketentuan yang merugikan negara sebesar RM 5,54 juta atau sekitar Rp 3,85 miliar. Tempo Interaktif
•    30 November - Menahan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004. Rokhmin diduga terlibat korupsi dana nonbujeter di departemennya. Total dana yang dikumpulkan adalah Rp 31,7 miliar. Tempo Interaktif
•    2 September - Memeriksa Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan selama 11 jam di gedung KPK. Pemeriksaan ini terkait kasus pembelian alat berat senilai Rp 185,63 miliar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dianggarkan pada 2003-2004. Tempo Interaktif
•    19 Juni - Menahan Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna A.F. setelah diperiksa KPK dalam kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit tanpa jaminan, dimana negara dirugikan tak kurang dari Rp 440 miliar.
2007
•    Perkara atas nama Liem Klan Yin berhubungan dengan penjualan aset tanah milik PT Industri Sandang Nusantara (Persero) Cabang Bandung; Putusan: pidana penjara 4 tahun, denda Rpl .000.000.000,00 subsidair 10 bulan, uang pengganti Rp24.006.438.333,00; apabila uang tidak dibayar harta akan dista dan dilelang, apabila harta yang dilelang tidak mencukupi penjualan aset tanah milik PT Industri Sandang Nusantara (Persero) Cabang Bandung;
•     Perkara atas nama Rusadi Kantaprawira berhubungan dengan pengadaan tinta untuk kepentingan Pemilu Legislatif; Putusan: pidana penjara 4 tahun, denda Rp 200000000,00 subsidair 2 bulan kurungan;
•    Perkara atas nama terdakwa Malem Pagi Sinuhaji berhubungan dengan percobaan pot iyuapan kopada hakim pada MA dalarn perkara kasasi Probosutedjo; Putusan: pidana penjara 3 tahun 6 bulan, denda Rp 150.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar digant dengan kurungan 6 bulan;
•    Perkara atas nama Fahrani Suhaimi berhubungan dengan pengadaan pemancar RRI TA 2003; Putusan: pidana penjara 10 tahun, denda Rp 300.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan 6 bulan, uang pengganti Rp 9.640.568.857,00;
•    Perkara atas nama terdakwa Abubakar Ahmad berhubungan dengan pengeluaran atau penggunaan dana yang tidak sesuai dengan peruntukannya pada Dana Tak Tersangka APBD Kab. Dompu TA 2003, 2004, dan 2005; Putusan: pidana penjara 2 tahun, denda sebesa Rpl80.000.000,00 apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 3 tahun, uang pengganti sebesar Rp655.000.000,00 paling ama dalam waktu 1 bulan setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila uang pengganti tidak dibayar akan dipidana selama 6 bulan penjara;
•    Jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan KPK dihitung berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan bukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu putusan terhadap uang rampasan, uang pengganti, dan denda sebesar Rp 119.976.472.962,00.

Efektifitas berarti pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang ditentukan. Untuk penentuan alat indikator efektifitas KPK dapat dilhat dari beberapa hal, yaitu:

Pertama, indikator makro yang terdiri dari survey CPI, Internal Country Risk Group. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International mengurutkan negara-negara dalam derajat korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas publik dan politikus. Ini merupakan indeks yang padat, yang digambarkan berdasarkan data yang berhubungan dengan korupsi dalam survei ahli yang dilakukan oleh berbagai lembaga terkemuka. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari seluruh dunia termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi. Penanggung jawab IPK Transparency International adalah Johann Graf Lambsdorff, seorang profesor dari universitas di Passau, Jerman. Pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemajuan yang positif meskipun tidak signifikan. Survey tersebut merupakan gambaran secara umum tentang pendapat masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi. CPI Indonesia disusun dari sebelas variabel yang diukur dari jawaban responden yang berasal dari pelaku bisnis. Variabel tersebut antara lain prosedur Pengajuan ijin usaha, prosedur pelayanan umum, penggelapan oleh pejabat publik.
Kedua, indikator Pelayanan Publik. Indikator pelayanan publik dapat dilihat dari survey yang dilakukan oleh Transparency International bahwa dari 50 kota, CPI Indonesia 2008 dihasilkan dari total rata-rata dari variabel survey di masing-masing kota. Berdasarkan formulasi tersebut, maka didapatkanlah IPK Indonesia 2008, dengan skor tertinggi 6,43 (Jogjakarta), dan skor terendah 2,97 (Kupang). Rata-rata dari total skor untuk 50 kota adalah 4,42.
CPI Indonesia 2008 menunjukkan bahwa di kota-kota seperti Jogjakarta, Palangkaraya dan Banda Aceh, pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai bahwa praktek suap dan korupsi tidak lazim dilakukan oleh aparat pemda kota. Sebaliknya, di kota yang mendapatkan skor rendah seperti Kupang dan Tegal, dapat disimpulkan bahwa pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai bahwa praktek korupsi masih lazim dilakukan. Hal ini berarti kampanye anti korupsi yang dilakukan KPK dengan melakukan pengumpulan dukungan dan komitmen anti korupsi yang dilakukan oleh KPK telah cukup berhasil dengan membentuk suatu persepsi anti korupsi di daerah.
Ketiga, indikator Kinerja Penegakan Hukum. Indikator ini bukan hanya dari sisi KPK saja, karena KPK menangani kasus korupsi dengan dugaan kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00. Dari beberapa indikator diatas tentunya yang paling disorot adalah kinerja KPK dalam mengungkap kasus Korupsi besar.
Data dari ICW menunjukkan modus korupsi terbesar yang terungkap selama semester 1 tahun 2010 adalah modus penggelapan dengan 62 kasus, diikuti modus mark up 52 kasus, proyek fiktif 20 kasus, penyalahgunaan anggaran 18 kasus dan suap 7 kasus. Telah terjadi pergeseran modus dimana modus tertinggi selama semester I tahun 2009 adalah modus penyalahgunaan anggaran tertinggi dengan 32 kasus Sedangkan di semester I tahun 2010 modus penggelapan merupakan yang paling dominan dengan 62 kasus. Sinyalemen ICW mengkaitkan pergeseran tersebut dengan kondisi politik yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 yang merupakan tahun persiapan menjelang pemilukada. Modus penggelapan, umumnya terkait dengan penyimpangan dana yang langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana-dana bantuan sosial (bansos), yang marak terjadi tahun 2008 dan 2009.

Sumber: Indonesia Corruption Watch

Meskipun data dari ICW menunjukkan keuangan daerah tetap sebagai sektor yang paling rawan dikorupsi dengan APBD sebagai objek korupsinya, sebenarnya upaya-upaya pengelolaan anggaran daerah oleh pemerintah daerah telah menunjukkan hasil. Hal ini ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh Seknas FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) tahun 2009 yang menunjukkan aspek transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah terhadap pengelolaan anggaran daerah menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan yakni cukup optimal. Hasil yang ada menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk mendorong proses transparansi dan akuntabilitas perlu diapresiasi. Sedangkan tingginya tingkat korupsi APBD berdasarkan data ICW dapat dimaklumi karena sektor anggaran merupakan sumber utama penyedia dana yang berpotensi untuk dikorupsi.

Sumber: Indonesia Corruption Watch

Dalam hal ketersediaan dokumen, pemerintah daerah pada umumnya telah membuat dokumen yang ada kecuali Informasi Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah (ILPPD). Sesuai dengan amanat PP No 3 / 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mengharuskan Pemda membuat dan mempublikasikan ILPPD kepada masyarakat. Ada dua kondisi yang menyebabkan kelangkaan ini, yaitu: (i) Pemerintah kurang memberikan perhatian untuk membangun mekanisme akuntabilitas dan transparansi publik melalui dokumen ILPPD; (ii) Beberapa daerah yang diteliti menyatakan belum mengetahui adanya aturan ini sehingga tidak membuatnya.
Dari sisi publikasi dokumen anggaran, penelitian ini menunjukkan daerah yang paling banyak mempublikasikan dokumen perencanaan penganggaran baik melalui website maupun media lainnya adalah Kota Pare-Pare. Sementara itu, pemerintah daerah yang hanya mempublikasikan satu dokumen anggaran adalah Kabupaten Bone, Kabupaten Polman, Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Malang.
Daerah yang paling sulit untuk diakses dokumen anggarannya adalah Kabupaten Cilacap. Terdapat 18 (90%) dari 20 dokumen yang tidak bisa diakses di daerah tersebut, diikuti oleh Kota Banjar dengan 12 dokumen (60%) dan Kota Blitar dengan 10 (50%) dokumen. Sementara itu, masih ada 27 daerah lainnya dengan rata-rata 5–7 dokumen anggarannya yang tidak bisa diakses di daerah-daerah tersebut.
Aspek akuntabilitas pengelolaan anggaran oleh pemerintah daerah menunjukkan hasil yang relatif baik di semua tahapan pengelolaan anggaran, khususnya pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Pada tahap perencanaan memiliki kinerja akuntabilitas sangat tinggi karena dokumen-dokumen perencanaan, umumnya bisa dibuat tepat waktu disertai adanya wahana bagi publik untuk terlibat.
Demikian halnya pada tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Tantangan pemerintah daerah dalam mendorong akuntabilitas publik perlu dikuatkan pada tahap pembahasan. Seringkali pada tahap ini, legislatif dan eksekutif gagal dalam penyediaan ruang pertanggungjawaban kepada publik. Salah satunya adalah ketepatan waktu dalam pembahasan dokumen anggaran yang seringkali molor dari waktu yang diatur dalam perundang-undangan.
Dalam penelitian Seknas Fitra tersebut juga menunjukan bahwa mayoritas pemerintah daerah telah memiliki standar harga yang diperbaharui setiap tahunnya. Standar harga merupakan kebijakan penting yang harus ditetapkan oleh pemerintah sebagai rujukan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dalam proses p



Comments

Popular posts from this blog

.construktif conflik

MENJAGA KEUTUHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA